Tanah
Alluvial pada proses pembentukannya sangat tergantung dari bahan induk asal
tanah dan topografi, punya tingkat kesuburan yang bervariasi dari rendah sampai
tinggi, tekstur dari sedang hingga kasar, serta kandungan bahan organic dari
rendah sampai tinggi dan pH tanah berkisar masam, netral, sampai alkalin,
kejenuhan basa dan kapasitas tukar kation juga bervariasi karena tergantung
dari bahan induk (Hardjowigeno, 1985).
Alluvial
atau Inceptisol memiliki pH yang sangat rendah yaitu kurang dari 4,
sehingga sulit untuk dibudidayakan. Alluvial atau Inceptisol yang bermasalah
adalah sulfaquepts yang mengandung horizon sulfuric ( cat clay ) yang sangat
masam (Munir, 1996).
Tanah
Alluvial memperlihatkan awal perkembangan biasanya lembab atau basa selama 90
hari berturut-turut. Umumnya mempunyai lapisan kambik, karena tanah ini belum
berkembang lanjut dan kebanyakan tanah ini cukup subur. Alluvial atau
Inceptisol merupakan tanah-tanah yang memiliki epipedon dan okrik, horizon
albik (Hardjowigeno, 1995).
Akumulasi
besi sulfide dan oksidanya penting pada sejumlah besar tanah Alluvial. Bakteri
memerlukan bahan organic dan merupakan obligat anaerob. Bakteri ini aktif mulai
dari 0-700 C, pH hingga 5 sampai 9 dan konsentrasi NaCl 12%
(Lopulisa, 2004).
Tanah
endapan alluvial atau koluvial muda atau agak muda dengan tanapa atau
perkembangan prifil lemah. Sifat tanah alufial sangat beragam tergantung sifat
bahan asal yang diendapkan. Penyebarannya tidak terpengaruhi oleh iklim maupun
ketingian (Hardjowigeno, 1993).
Tanah
Aluvial yang dipersawahan akan berbeda sifat morfologisnya dengan tanah yang
tidak dipersawahan. Perbedaan yang sangat nyata dapat dijumpai pada
epipedonnya, dimana pada epipedon yang tidak pernah dipersawahan berstruktur
granular dan warna coklat tua (10 YR 4/3). Sedangkan epipedon tanah Aluvial
yang dipersawahan tidak berstruktur dan berwarna berubah menjadi kelabu (10
YR5/1) (Munir, 1984).
Hakim
dkk (1986) mengemukakan bahwa tanah Aluvial bervariasi dari satu daerah ke
daerah lainnya. Beberapa bahan endapan dapat berupa batu kapur, batuan
metamorfik, deposit lanau dan dapat pula berupa au gunung berapi yang bercampur
bahan organik.
Sarief
(1987) menyatakan bahwa tanah Aluvial berwarna kelabu sampai kecoklat-coklatan.
Tekstur tanahnya liat atau liat berpasir, mempunyai konsistensi keras waktu
kering dan teguh pada waktu lembab. Kandungan unsur haranya relatif kaya dan
banyak tergantung pada bahan induknya. Reaksi tanahnya dari asam, netral sampai
basa. Berdsarkan bahan induknya terdapat ttanah Aluvial pasir, lempung, kapur,
basa,asam dan lain-lain (Darmawijaya, 1990).
Tanah
Aluvial yang di persawahan akan berbeda sifat morfologisnya dengan tanah yang
tidak di persawahan. Perbedaan yang sangat nyata dapat dijumpai pada
epipedonnya, dimana pada epipedon yang tidak pernah dipersawahan berstruktur
granular dan warna coklat tua (10 YR 4/3). Sedangkan epipedon tanah Aluvial
yang dipersawahan tidak berstruktur dan berwarna berubah menjadi kelabu (10
YR5/1) (Munir, 1984).
Tanah
Alluvial memiliki kemantapan agregat tanah yang didalamnya terdapat banyak
bahan organik sekitar setengah dari kapasitas tukar katio (KTK) berasal dari
bahan bahan sumber hara tanaman. Disamping itu bahan organik adalah sumber
energi dari sebagian besar organism tanah dalam memainkan peranannya bahn
organik sangat dibutuhkan oleh sumber dan susunanya (Hakim,dkk,1986).
Tanah
Alluvial mengalami pencucian selama bertahun-tahun tanah ini ditandai dengan
kandungan bahan organik yang tinggi. Vegetasi kebanyakan lumut yang tumbuh
rendah. Tumbuhan tumbuh dengan lambat, tetapi suatu lahan yang rendah
menghambat dekomposisi bahan organik sehingga menghasilkan tanah yang
mengandung bahan organik dan KTK yang tinggi (Foth,HD,1994).
Tanah
Alluvial berwarna kelabu muda bersifat fisik keras dan pijal jika kering dan
lekat jika basah. Kaya akan fosfot yang mudah larut dalam sitrat 2% mengandung
5% CO2 dan tepung kapur yang halus dan juga berstruktur pejal yang
dalam keadaan kering dapat pecah menjadi fragmen berbetuk persegi sedang sifat
kimiawinya sama dengan bahan asalnya (Munir, 1996).
Kadar
fosfor Alluvial ditentukn oleh banyak atau sedikitnya cadangan mineral yang
megandung fosfor dan tingkat pelapukannya. Permasalahan fosfor ini meliputi
beberapa hal yaitu peredaran fosfor di dalam tanah, bentuk-bentuk fosfor tanah,
dan ketersediaan fosfor (Pairunan, dkk, 1997).
Status
kesuburan Alluvial amat tergantung dengan bahan induk dan iklim. Suatu
kecenderungan memperlihatkan bahwa di daerah beriklim basa P dan K relative
rendah dan pH lebih rendah dari 6,5. daerah-daerah dengan curah hujan rendah di
dapat kandungan P dan K lebih tinggi dan netral (Hakim, dkk, 1986).
Dalam
analisis KTK, mula-mula semua kation yang dapat dipertukarkan diganti dengan
kation tertentu misalnya dengan NH4+ (dari larutan NH4Oac),
kemudian ditentukan jumlah kation yang diperlukan untuk mengganti kation
tersebut. Beberapa kation terutama K bila digunakan sebagai kation pengganti
akan memberi gambaran yang kurang tepat karena sebagian dari K dapat diikat
oleh mineral liat tertentu seperti mineral illit (Hardjowigeno, 1993).
Ada
dua cara yang banyak dipakai untuk menentukan KTK yaitu penjenuhan dengan
ammonium pada pH 7 (NH4Oac, pH 7) dan dan metode penjumlahan kation
di mana semua kation yang dapat dipertukarkan yaitu kation basa + kation asam
dijumlahkan. Karena adanya perubahan KTK akibat perubahan pH, maka KTK
tanah dapat dibedakan menjadi KTK tetap (permanent charge) dan KTK tergantung
pH (pH-dependent charge) (Hardjowigeno, 1993).
KTK
tetap adalah jumlah muatan negative dari liat akibat subtitusi ion-ion dengan
muatan rendah terhadap ion-ion dalam struktur kristal yang bervalensi lebih
tinggi. Hal ini terjadi pada waktu proses pembentukan liat sedang
berjalan. Sebagai contoh misalnya subtitusi Al3+ terhadap Si4+
dalam Si tetrahedron atau subtitusi Mg2+ terdapat Al3+
dalam Al octahedron. Akibat subtitusi tersebut maka terjadilah kelebihan
muatan negative dalam mineral liat yang merupakan KTK tetap (Purwowidodo,
1982).
No comments:
Post a Comment