Friday, June 29, 2012

Puisi Joko pinurbo


PRAJURIT DI MALAM SEBELUM PERANG

ya akulah abdimu
dari kandung leluhurku aku telah lahir
kubawa namanya dalam berkatmu
di tengah hutan memancar kesegaran mata air yang berlinang
dengan jari-jari perkasa
kauhembuskan napasku
dan kualirkan darah
dalam tubuhku yang mungil
hingga sungai pun tetap mengalir
dan bocah-bocah yang berbaris di tebingnya
bersorak gembira
lalu ingin kupersembahkan padamu:
setetes darah yang amis
sekerat daging yang tawar
sehelai rambut yang rapuh
sepotong tulang yang lapuk
dan sebaris napas yang cair
– korban ini begitu sederhana
...

(dikutip dari “Humor yang Polits, Humor yang Tragis” , Bandung Mawardi.)

Jika dilihat secara seksama puisi tersebut masih terpengaruh oleh wacana estetik puisi lirik yang memang merebak pada masa itu. Sebelum membahas pertunjukkan estetika Joko Pinurbo hingga akhir Orde Baru dan pasca Orde Baru, tentu saja ada baiknya kita kembali membaca perkembangan Sastra Indonesia pada masa Orde Baru.

Agus R. Sarjono pernah menulis esai tentang perkembangan Sastra Indonesia pada masa Orde Baru. Dalam tulisan tersebut Agus R. Sarjono membagi periodisasi menjadi empat yaitu Sastra dan Orde Baru I, Sastra dan Orde Baru II, dan Sastra dan Orde Baru III & IV. Setiap periode tersebut mempunyai ciri-ciri tersendiri. Namun, dari semua periode tersebut, sejak periode Sastra dan Orde Baru II, 1980-an, pemerintahan di Indonesia mulai menunjukkan sikap represif terhadap para penentang pemerintahan termasuk sastrawan.

Di dunia sastra, sikap represif yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru adalah dengan politik bahasa. Pemerintah menggunakan jargon-jargon seperti bebas bertanggung jawab, menggunakan bahasa yang baik dan benar, dan lain-lain. Jargon-jargon tersebut tentu saja menyebabkan penguasa politik lebih hegemonik hingga puncaknya pada peristiwa Mei 1998 sebagai akhir kekuasaan hegemonik Orde Baru.

Michael Bodden menyebutkan pula bahwa, “Pemerintahan Orde Baru melakukan kontrol kebudayaan hingga terbentuk kebudayaan yang sejenis.” Ia juga menambahkan bahwa, “Kontrol tersebut menyebabkan hegemonik dari pemerintahan Orde Baru di bidang Kebudayaan”(Bodden: 1998). Kekuasaan hegemonik memunculkan kaum-kaum postmodern di Indonesia yang ingin menentang kekuasan hegemonik Orde Baru.

III

Joko Pinurbo adalah penyair yang tumbuh dan berkembang pada era kekuasaan hegemonik Orde Baru. Seperti yang telah disebutkan di atas, Joko Pinurbo mulai menulis puisi sejak tahun 1979. Pria kelahiran Sukabumi, 11 Mei 1962 melakukan metamorfosis estetik kepenyairannya. Metamorfosis tersebut merupakan pertunjukkan estetik yang ditampilkan oleh Joko Pinurbo dalam menentang hegemoni penguasa Orde Baru. Pertunjukkan tersebut terekam dalam buku kumpulan puisi Joko Pinurbo, Pacar Senja (2005).

Pacar Senja merupakan buku puisi yang berisi puisi-puisi Joko Pinurbo yang tersebar dalam beberapa buku puisi sebelumnya, Celana (1999), Di Bawah Kibaran Sarung (2001), Pacarkecilku (2002), Telepon Genggam (2003, dan Kekasihku (2004). Melalui pertunjukkan estetikanya, ia mendapatkan Penghargaan Buku Puisi Pusat Kesenian Jakarta (2000), Hadiah Sastra Lontar (2001), Sih Award (2001), dan Penghargaan Sastra Pusat Bahasa (2002).

Bagaimana metaforsis estetika yang dilakukan Joko Pinurbo hingga berakhirnya hegemoni Orde Baru yang ditandai dengan Reformasi 1998?

Dalam buku Pacar Senja, puisi yang berusia paling tua adalah puisi ‘Layang-layang’ (1980). Di dalam puisi tersebut kita bisa melihat wacana estetik yang digunakan Joko Pinurbo pada awal kepenyairannya.

LAYANG-LAYANG

Dulu pernah kau belikan sebuah layang-layang
pada hari ulang tahun.
Aku pun bersorak sebagai kanak-kanak
tapi hanya sejenak.

Sebab layang-layang itu kemudian hilang,
entah ke mana ia terbang.
Seperti aku pun tak pernah tahu kapan kau hilang
dan kembali ketemu
Lehermu masih hangat meskipun selalu dikikis waktu.

Sekarang umur pun tak pernah lagi dirayakan
selain dibasahkuyupkan di bawah hujan.
Tapi kutemukan juga layang-layang itu di sebuah dahan
meskipun tanpa benang dan tinggal robekan.
Aku ingin berteduh di bawah pohon yang rindang.

1980


(Pacar Senja, Joko Pinurbo,hal. 133)

Puisi tersebut dibuat Joko Pinurbo pada usia 18 tahun. Tergolong muda sekali, bahkan Chairil Anwar baru mempublikasikan puisinya pada umur 20 tahun. Di usia semuda itu, wacana estetik yang digunakan oleh Joko Pinurbo masih terpengaruh oleh wacana estetik penyair terdahulunya seperti Goenawan Muhamad dan Sapardi Djoko Damono. Aku lirik masih sebagai aku yang individu dan sajak tersebut masih masih berkisar pada permasalahan eksistensi psikologi.

Tradisi puisi lirik juga masih kuat diikuti oleh Joko Pinurbo—memang pada masa itu wacana estetik puisi masih berkisar pada jenis puisi lirik yang dikembangkan oleh Goenawan Muhamad dan Sapardi Joko Damono. Pada tahun 1989, wacana estetik Joko Pinurbo mulai bergeser atau bermetamorfosis melalui puisi ‘Tukang Cukur’ walaupun pada tahun 1990, Joko Pinurbo masih menunjukkan pengaruh estetika puisi lirik seperti pada puisi ‘Hutan Karet’ dan ‘Pohon Bungur’. Puisi ‘Tukang Cukur’ setidaknya menjadi titik awal perubahan orientasi dalam puisi-puisinya pada masa menjelang akhir Orde Baru dan pasca-Orde Baru.

TUKANG CUKUR

Ia membuat padang rumput yang subur
Di kepalaku. Ia membabat rasa damai
Yang merimbun sepanjang waktu.

“Di bekas hutan ini akan kubangun bandar,
hotel, dan restoran. Tentu juga sekolah,
rumah bordil, dan tempat ibadah.

Ia menyayat-nyayat kepalaku,
mengkapling-kapling tanah pusaka nenekmoyangku.

“Aku akan mencukur lentik lembut bulu matamu.
Dan kalau perlu akan kupangkas daun telingamu.”

Suara guntingnya selalu menggangu tidurku.

1989


(Pacar Senja, Joko Pinurbo, hal. 17)

Dalam puisi ‘Tukang Cukur’, wacana estetik Joko Pinurbo pelan-pelan bergeser. Ia sudah tidak lagi menggunakan wacana estetik puisi lirik yang dulu ia gunakan pada awal kepenyairannya. Ia mulai menggunakan gaya narasi dalam lirik-lirik puisinya. Menggunakan potongan cerita atau kisah pendek namun tetap menggunakan metafora-metafora yang menimbulkan ironi. Puisi ‘Tukang Cukur’ juga merupakan perlawanan terhadap modernisasi yang dilakukan kuasa Orde Baru. Simbol-simbol modernisasi terlihat pada kata bandar, hotel, restoran, sekolah, rumah bordil, dan tempat ibadah. Kata-kata tersebut merupakan penanda bagi kehidupan kota yang menuju metropolitan. Pada masa Orde Baru pembangunan sangat didengung-dengungkan melalui PELITA (Pembangunan Lima Tahunan). Pembangunan tersebut persis seperti yang digambarkan oleh Joko Pinurbo dalam puisi ‘Tukang Cukur’.

Relasi kuasa yang dibangun oleh pemerintah Orde Baru menginginkan Indonesia menuju modern melalui kerja-kerja budaya yang sangat diatur ketat guna menuju Indonesia yang berbudaya tunggal atau penyeragaman budaya. Relasi kuasa itu kemudian ditentang oleh beberapa penyair dan tentu saja Joko Pinurbo salah satunya. Relasi kuasa Orde Baru diciptakan menggunakan bahasa sebagai alat tersebut. Bahasa sengaja dimatikan oleh pemengang kekuasaan dengan pemaknaan seragam. Hal ini menjadi keresahan bagi beberapa penyair karena bahasa merupakan ‘rumah’ bagi puisi. Dampak dari penyeragaman pemaknaan bahasa oleh Orde Baru adalah kesadaran masyarakat Indonesia tentang kesusastraan mulai berkurang. Namun, beberapa penyair, termasuk Joko Pinurbo, menggunakan bahasa untuk melawan balik hegemoni Orde Baru. Pada tahun 1989, Afrizal Malna juga menggunakan bahasa sebagai sarana melawan arus hegemoni Orde Baru.
….
Di stasiun, orang-orang berdiri. Mereka saling berdiam di hadapan spiker. Tahu, jam-jam berlalu, tidak membawa siapa pun pergi ke rumah sendiri. Sebuah kota penuh spiker, tahu, tidak perlu mendengar suaramu.

1989


(“Spiker di Jendela Kereta”, Afrizal Malna,dalam Arsitektur Hujan, hal. 36)

Afrizal Malna juga mempersoalkan arus modernitas yang dibangun oleh penguasa Orde Baru, sama seperti Joko Pinurbo. Namun, bahasa yang digunakan oleh Afrizal dan Joko Pinurbo berbeda walaupun Joko Pinurbo masih cenderung sedikit menguntit wacana estetik yang dibangun Afrizal Malna. Penggunaan kata-kata yang digunakan Joko Pinurbo masih mencitrakan unsur-unsur gelap seperti menyayat. Unsur-unsur gelap juga terdapat pada klausa-klausanya. Ia menyayat-nyayat kepalaku, aku akan mencukur lentik bulu matamu. Dan kalau perlu akan kupangkas daun telingamu. Citraan tersebut merupakan unsur gelap dan bersifat ironi. Bagi mereka yang hidup dan tumbuh dalam kekuasaan hegemonik Orde Baru seperti Joko Pinurbo, tentu saja akan merasakan getirnya pencukuran yang dilakukan oleh Tukang Cukur atau akan merasakan seperti Afrizal Malna, kota-kota yang tidak perlu mendengarkan suaramu.

IV

Pada periode awal 1990-an hingga mendekati masa keruntuhan kekuasaan hegemoni Orde Baru, wacana estetik yang dilakukan Joko Pinurbo terus berkembang dan menemukan bentuk khasnya. Pada tahun 1990-an, Joko Pinurbo membuat puisi dengan gaya yang berbeda, tidak lagi kembali pada tradisi puisi lirik ataupun terjebak pada kegelapan puisi à la Afrizal Malna. Ia mengembangkan gayanya sendiri berupa gaya humor dengan menggunakan bahasa yang sering kita jumpai sehari-hari seperti celana, ranjang, dan sarung.

Pada periode itu pula, Orde Baru sedang gencar-gencarnya melakukan represif terhadap penentangnya. Buktinya adalah pembredelan sejumlah media massa seperti Tempo. Joko Pinurbo, dalam sajak ‘Tuhan Datang Malam Ini’, berhasil menangkap peristiwa pemberedelan Tempo. Kritiknya terhadap hegemoni Orde Baru memang tak sekeras W.S. Rendra, namun ironi muncul pada puisi tersebut.

....
Tuhan datang malam ini
di gudang gulita yang cuma dihuni cericit tikus
dan celoteh sepi. Ia datang dengan sebuah headline
yang megah: “Telah kubredel ketakutan
dan kegemetaranmu. Kini bisa kaurayakan kesepian
dan kesendirianmu dengan lebih meriah.”
Dengar, Tuhan melangkah lewat dengan sangat gemulai
di atas halaman-halaman yang hilang,
rubrik-rubrik terbengkelai.
....


(“Tuhan Datang Malam Ini”, Joko Pinurbo,dalam Pacar Senja, hal. 111)

Metafora yang dilakukan oleh Joko Pinurbo untuk penguasa Orde Baru adalah Tuhan. Orde Baru pada masa tahun 1990-an memang seperti “Tuhan”. Penguasa dengan mudah membredel media massa yang menentang penguasa Orde Baru. Orde Baru seperti “Tuhan”, mempunyai kekuasaan tak berbatas di Indonesia.

.....
Dan Tuhan datang malam ini
di gudang gelap, di bawah tanah, yang cuma dihuni
cericit tikus dan celoteh sepi.
Ia datang bersama empat ribu pasukan,
lengkap dengan borgol dan senapan.
Dengar, mereka menggedor-gedor pintu dan berseru:
“Jangan halangi kami. Jangan lari dan sembunyi.
Kami cuma orang-orang kesepian.
Kami ingin bergabung bersama Anda
di sebuah kolom yang teduh, kolom yang rindang.
Kami akan kumpulkan senjata
dan menyusunnya jadi sebuah komposisi kebimbangan.”

Tuhan, mereka sangat ketakutan.
Antarkan mereka ke sebuah rubrik yang tenang.

1997


(“Tuhan Datang Malam Ini”, Joko Pinurbo, dalam Pacar Senja hal. 112)

Tuhan yang dimetaforkan oleh Joko Pinurbo sebagai penguasa Orde Baru adalah orang-orang yang kesepian dan orang-orang yang mengumpulkan senjata dan menyusunnya jadi komposisi kebimbangan. Gambaran represif penguasa Orde Baru terlihat pada metafor Tuhan. Penguasa memang sering melakukan tindakan represif dengan senjata dan menciptakan ‘kedamaian’ yang dipaksakan tetapi sebenarnya adalah sebuah komposisi kebimbangan. Ironi, baru dimunculkan pada bait terakhir. Bait terakhir dicetak dengan huruf miring. Hal ini merupakan bagian yang coba ditekankan oleh Joko Pinurbo bahwa orang-orang yang ditekan oleh sikap represif penguasa Orde Baru ternyata masih memohonkan “doa” kepada Tuhan (yang sebenarnya) untuk penguasa Orde Baru agar mereka “sadar”.

Beberapa puisi Joko Pinurbo lainnya seperti “Celana 1”, “Celana 2”, “Celana 3”, “Boneka 1”, “Boneka 2”, dan “Boneka 3” tetap menggunakan gaya humor tapi masih disisipi permasalahan sosial. Ia tetap menyisipi kritik sosial yang terjadi pada masa hegemoni Orde Baru.

...
Ia pergi juga malam itu, menemui kekasih
yang menunggunya di pojok kuburan.
Ia pamerkan celananya: “Ini asli buatan Amerika.”

Tapi perempuan itu lebih tertarik
pada yang bertengger di dalam celana.
Ia sewot juga: “Buka dan buang celanamu!”
...


(“Celana 3”, Joko Pinurbo, dalam Pacar Senja hal. 5)

Kutipan di atas memperlihatkan bahwa Joko Pinurbo melakukan kritik terhadap pengaruh asing dalam pemerintahan Orde Baru. Pengaruh asing tersebut disimbolkan pada Ini asli buatan Amerika. Amerika Serikat berpengaruh besar terhadap Indonesia terbukti dengan adanya Freeport di Indonesia bahkan hingga sekarang. Pengaruh tersebut juga terjadi di bidang ekonomi hingga menyebabkan krisis ekonomi pada tahun 1997-1998. Kritik tersebut terbungkus melalui bahasa humor –melalui percakapan sehari-hari. Puisi “Celana 3” memang tidak menggunakan bahasa puitik. Kekuatan puisinya adalah bahasa humor yang sederhana. Hal ini merupakan bagian dari metamorfosis wacana estetik yang diusung Joko Pinurbo dalam puisi-puisinya.

Pada puisi “Boneka 1”, Joko Pinurbo kembali menampilkan kritik terhadap kehidupan bernegara di Indonesia. Ia tetap mengusung wacana estetiknya yaitu narasi humor melalui percakapan.

BONEKA, 1

Setelah terusir dan terlunta-lunta
di negerinya sendiri,
pelarian itu akhirnya diterima
oleh sebuah keluarga boneka.

“Kami keluarga besar yang berasal
dari berbagai suku bangsa.
Kami telah menciptakan adat istiadat
menurut cara kami masing-masing,
hidup damai dan merdeka
tanpa menghiraukan lagi asal-usul kami.
Anda sendiri, Tuan, datang dari negeri mana?”

“Saya datang dari negeri yang pemimpin
dan rakyatnya telah menyerupai boneka.
Saya tidak betah lagi tinggal di sana
karena saya ingin tetap menjadi manusia.”
...


(“Boneka 1”, Joko Pinurbo, dalam Pacar Senja hal. 25)

Ia mengibaratkan pemerintah Orde Baru sebagai boneka. Boneka merupakan simbol mainan. Hal ini berarti bahwa pemerintah Orde Baru merupakan mainan asing terutama Amerika. Simbol lain dari boneka adalah sebagai benda mati. Pemimpin bangsa dan rakyat di Indonesia sudah menjadi benda mati, tidak lagi menjadi manusia yang mempunyai hati dan perasaan—manusia yang memanusiakan manusia lainnya.

V

Mei 1998 merupakan akhir dari hegemoni Orde Baru di Indonesia. Berakhirnya hegemoni Orde Baru berawal dari krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada medio akhir 1997 dan menyebabkan kerusuhan Mei 1998. Dalam buku Kerusuhan Mei: 1998 Fakta, Data, dan Analisa menyebutkan bahwa, “Kerusuhan Mei 1998 disebabkan oleh krisis ekonomi dan IMF memiliki peran penting dalam menciptakan krisis moneter yang meluas menjadi krisis ekonomi.” Program-program yang ditawarkan IMF lebih bersifat politis ketimbang ekonomis. Pemerintah Orde Baru juga mendapatkan tekanan dari berbagai pihak internasional. Akibatnya adalah harga-harga barang melambung dan menyebabkan kerusuhan di Indonesia.

Kondisi negara yang carut-marut menggerakkan mahasiswa untuk berunjuk rasa menuntut reformasi di Indonesia. Puncak unjuk rasa tersebut adalah tertembaknya mahasiswa Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998. Pada tanggal 13 Mei 1998 hingga 15 Mei 1998 kerusuhan mulai menyebar di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Kerusuhan berubah menjadi kerusuhan rasial terbukti dengan pembakaran pertokoan yang mayoritas didiami oleh etnis Tionghoa. Bulan Mei 1998 kemudian menjadi bulan mencekam bagi sejarah Indonesia. Pada tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto mundur dari jabatan presiden. Peristiwa tersebut kemudian disebut sebagai Reformasi Mei 1998 dan sebagai akhir dari hegemoni Orde Baru.

Beberapa penyair kemudian menulis tentang Reformasi Mei 1998, seperti Taufik Ismail, W.S. Rendra, Agus R. Sarjono, Sitok Srengenge, Hamid Jabbar, Ikranegara, Danarto, Slamet Sukirnanto, Soni Farid Maulana, dan Iyut Fitria. Puisi karya nama-nama tersebut dimuat dalam majalah Horison bulan Juni 1998. Bahkan, penyair yang sering menulis tentang kegelisahan eksistensial ikut pula menulis puisi yang menggambarkan Reformasi Mei 1998. Wacana estetik pada periode ini berubah menjadi wacana estetik kontekstual karena sebagian besar sastrawan menulis tentang peristiwa Mei 1998.

Joko Pinurbo, dalam buku puisi Pacar Senja, juga mengikuti wacana estetik di akhir hegemoni Orde Baru. Peristiwa Mei 1998 disebut Agus R. Sarjono sebagai peristiwa terdahsyat di penghujung abad 20, sehingga tidak ada alasan lain untuk tidak menulis peristiwa tersebut kecuali alasan kemanusiaan dan kritik sosial terhadap kondisi tersebut. Perasaan carut marut Joko Pinurbo terhadap peristiwa tersebut terdapat pada puisi “Patroli”, “Minggu Pagi di Sebuah Puisi”, dan “Mei”.

Dua buah puisi Joko Pinurbo, “Patroli” dan “Minggu Pagi di Sebuah Puisi”, menggambarkan kondisi aksi unjuk rasa pada Mei 1998. Pada puisi “Patroli”, Joko Pinurbo tetap menggunakan wacana estetiknya, dengan gaya narasi humor penuh ironi. Puisi tersebut merupakan potongan cerita seperti yang terdapat pada puisi-puisi lain Joko Pinurbo namun perbedaannya dalam puisi “Patroli” lebih jelas kontekstualnya yaitu Mei 1998.

PATROLI

Iring-iringan panser mondar-mandir
di jalur-jalur rawan di seantero sajakku.
Di sebuah sudut yang agak gelap komandan
melihat kelebat seorang demonstran
yang gerak-geriknya dianggap mencurigakan.
Pasukan disiagakan dan diperintahkan
untuk memblokir setiap jalan.
Semua mendadak panik. Kata-kata kocar-kacir
dan tiarap seketika. Komandan berteriak,
“Kalian sembunyikan di mana penyair kurus
yang tubuhnya seperti jerangkong itu?
Pena yang baru diasahnya sangat tajam
dan berbahaya.”Seorang peronda
memberanikan diri angkat bicara,
“Dia sakit perut, Komandan, lantas terbirit-birit
ke dalam kakus. Mungkin dia lagi bikin aksi
di sana.” “Sialan!” umpat komandan geram sekali,
lalu memerintahkan pasukan melanjutkan patroli.
Di huruf terakhir sajakku si jerangkong itu
tiba-tiba muncul dari dalam kakus sambil
menepuk-nepuk perutnya. “Lega,” katanya.
Maka kata-kata yang tadi gemetaran
serempak bersorak dan merapatkan diri
ke posisi semula. Di kejauhan terdengar letusan,
api sedang melahap
dan menghanguskan mayat-mayat korban.

(1998)


Dalam puisi tersebut, sikap represif militer terhadap demonstran digambarkan melalui gaya narasi. Komandan, panser, patroli merupakan simbol militer sedangkan simbol demonstran digambarkan oleh kata-kata. Peristiwa Mei 1998 memang seperti yang digambarkan oleh Joko Pinurbo. Militer membubarkan para demonstran menggunakan panser dan menembaki demonstran tersebut hingga menimbulkan korban jiwa bagi demonstran. Humor yang muncul pada puisi tersebut terdapat pada bagian “Si jerangkong tiba-tiba muncul dari dalam kakus sambil menepuk-nepuk perutnya.” Si jerangkong kurus tersebut sampai harus bersembunyi di dalam kakus—tempat yang berkonotasi jorok—hanya untuk mengelabui militer yang represif terhadapnya. Hal itulah yang terjadi pada masa hegemoni Orde Baru hingga berakhirnya masa tersebut, para aktivis, yang disimbolkan melalui si Jerangkong, harus bersembunyi untuk menghindari sikap represif (sikap represif tersebut biasanya dengan cara penculikan) dari penguasa Orde Baru.

Pada puisi “Minggu Pagi di Sebuah Puisi”, Joko Pinurbo lebih menggunakan ironi. Joko Pinurbo menggambarkan kerusuhan Mei 1998 seperti peristiwa penyaliban Yesus di bukit Golgota. Sebelum penyaliban, Yesus di arak menuju Golgota melewati via dolorosa. Via dolorosa kemudian penuh dengan darah Yesus.

MINGGU PAGI DI SEBUAH PUISI

Minggu pagi di sebuah puisi kauberi kami kisah Paskah
ketika hari masih remang dan hujan, hujan
yang gundah sepanjang malam
menyirami jejak-jejak huruf yang bergegas pergi, pergi
berbasah-basah ke sebuah ziarah.

Bercak-bercak darah bercipratan di rerumpun aksara
di sepanjang via dolorosa.
Langit kehilangan warna, jerit kehilangan suara.
Sepasang perempuan (panggil: sepasang kehilangan)
berpapasan di jalan kecil yang tak dilewati kata-kata.
...


(“Minggu Pagi di Sebuah Puisi”, Joko Pinurbo, dalam Pacar Senja, hal. 114)

Pada kerusuhan Mei 1998, banyak korban berjatuhan di beberapa sudut kota Jakarta. Pembakaran terjadi di pertokoan-pertokoan Tionghoa. Darah-darah banyak tersebar di jalan-jalan kota Jakarta. Jakarta seperti via dolorosa yang banyak bercak-bercak darah. Bahkan pada kerusuhan tersebut langit kehilangan warna dan jejak kehilangan suara hanya untuk berduka pada kerusuhan tersebut. Simbol-simbol tersebut merupakan ironi yang diungkapkan oleh Joko Pinurbo untuk menggambarkan kerusuhan Mei 1998 melalui puisi.

Pada puisi “Mei” tidak ada lagi humor yang biasanya menjadi ciri khas puisi Joko Pinurbo. Joko Pinurbo kembali pada gaya liris yang penuh ironi. Puisi “Mei” sendiri di tulis pada tahun 2000, pasca-Orde Baru. Hal ini menunjukkan bahwa kerusuhan Mei 1998 sangat membekas dalam ingatan.

MEI

: Jakarta, 1998

Tubuhmu yang cantik, Mei
telah kaupersembahkan kepada api.
Kau pamit mandi sore itu.
Kau mandi api.
Api sangat mencintaimu, Mei.
Api mengucup tubuhmu
sampai ke lekuk-lekuk tersembunyi.
Api sangat mencintai tubuhmu
sampai dilumatnya yang cuma warna
yang cuma kulit yang cuma ilusi.
Tubuh yang meronta dan meleleh dalam api, Mei
adalah juga tubuh kami.
Api ingin membersihkan tubuh maya
dan tubuh dusta kami dengan membakar habis
tubuhmu yang cantik, Mei
Kau sudah selesai mandi, Mei.
Kau sudah mandi api.
Api telah mengungkapkan rahasia cintanya
ketika tubuhmu hancur
dan lebur dengan tubuh bumi;
ketika tak ada lagi yang mempertanyakan
nama dan warna kulitmu, Mei.

2000


(“Mei”, Joko Pinurbo, dalam Pacar Senja hal. 120)

Membaca puisi “Mei” Joko Pinurbo mengingatkan saya pada puisi Sapardi Djoko Damono “Ayat-ayat Api” terutama fragmen pertama. Ada kesamaan kelirisan dari kedua sajak tersebut.
...
mei, bulan kita itu, belum ditinggalkan penghujan
...


(“Ayat-ayat Api”, Sapardi Joko Damono, dalam Ayat-ayat api, hal. 115)

Kedua puisi tersebut sama-sama menangkap kerusuhan Mei 1998 dan mempunyai kemiripan lirisnya. Apa yang menyebabkan Joko Pinurbo menanggalkan sejenak wacana estetiknya berupa humor yang biasa ia gunakan dalam beberapa puisinya? Tentu saja, peristiwa kerusuhan Mei 1998 itu sendiri yang begitu pilu dan menyedihkan sampai-sampai Joko Pinurbo kembali pada wacana estetik tradisi puisi lirik, kembali pada aku lirik yang mengalami perenungan. Mei disimbolkan sebagai perempuan cantik yang menjadi korban kerusuhan Mei 1998.

Jika kita melihat seksama diksi yang dipilih Joko Pinurbo sebagai judul puisinya, maka kita akan mendapatkan nama Tionghoa. Mei adalah nama perempuan Tionghoa yang berarti cantik. Kerusuhan Mei 1998 menjadi kerusuhan rasial. Banyak korban etnis Tionghoa yang menjadi korban kerusuhan. Mei merupakan simbol korban Tionghoa yang dibakar tanpa tahu apa kesalahannya—tak ada lagi yang mempertanyakan nama dan warna kulitmu, Mei.

VI

Pascakeruntuhan hegemoni Orde Baru, wacana estetik Joko Pinurbo berubah sedikt demi sedikit. Beberapa puisinya ada yang berupa aforisma-aforisma pendek (pada puisi “Kepada Puisi”, 2003).

KEPADA PUISI

Kau adalah mata, aku airmatamu.

2003


(Pacar Senja, Joko Pinurbo, hal. 147)

Pada puisi “Kepada Puisi”, Joko Pinurbo melakukan percobaan-percobaan estetik. Tidak lagi berupa narasi panjang maupun narasi humor. Joko Pinurbo mempertunjukkan kerja kreatifnya dengan kata-kata yang padat dan hanya menggunakan satu larik saja.

Beberapa puisinya juga ada yang berbentuk puisi sentimentil (pada puisi “Pacar Senja”, 2003).

PACAR SENJA

Senja mengajak pacarnya duduk-duduk di pantai.
Pantai sudah sepi dan tak akan ada yang peduli.

Pacar senja sangat pendiam: ia senyum-senyum saja
mendengarkan gurauan senja. Bila senja minta peluk,
setengah saja, pacar senja tersipu-sipu.
“Nanti saja kalau sudah gelap. Malu dilihat lanskap.”

Cinta seperti penyair berdarah dingin
yang pandai menorehkan luka.
Rindu seperti sajak sederhana yang tak ada matinya.
Tak terasa senyap pun tiba: senja tahu-tahu
melengos ke cakrawala, meninggalkan pacar senja
yang masih megap-megap oleh ciuman senja.

“Mengapa kau tinggalkan aku sebelum sempat
kurapikan lagi waktu? Betapa lekas cium
menjadi bekas. Betapa curangnya rindu.
Awas, akan kupeluk habis kau esok hari.”

Pantai telah gelap. Ada yang tak bisa lelap.
Pacar senja berangsur lebur, luluh, menggelegak
dalam gemuruh ombak.

2003


(Pacar Senja, Joko Pinurbo, hal .45)

Letak sentimental puisi tersebut adalah pada pemilihan tema yang digarap oleh Joko Pinurbo. Jarang sekali Joko Pinurbo menampilkan tema-tema percintaan. Pada periode pasca-Orde Baru, Joko Pinurbo mencoba memainkan tema percintaan. Yang menjadi unik, Puisi “Pacar Senja” tidak tenggelam pada arus romantik seperti penyair setelah Sapardi Djoko Damono, namun masih saja menimbulkan ironi. Ironi tersebut terdapat pada bait keempat.

Beberapa lagi masih terdapat wacana estetik yang orisinil dan khas yaitu narasi humor tragisnya (pada puisi “Celana Ibu”, 2004)

CELANA IBU

Maria sangat sedih menyaksikan anaknya
mati di kayu salib tanpa celana
dan hanya berbalutkan sobekan jubah
yang berlumuran darah.

Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit
dari mati, pagi-pagi sekali Maria datang
ke kubur anaknya itu, membawakan celana
yang dijahitnya sendiri dan meminta
Yesus untuk mencobanya.

“Paskah?” tanya Maria.
“Pas sekali, Bu,” jawab Yesus gembira.

Mengenakan celana cinta buatan ibunya,
Yesus naik ke surga.

2004


(Pacar Senja, Joko Pinurbo, hal. 14)

Pada puisi tersebut, Joko masih menjaga eksistensi wacana estetik khasnya. Kekuatan puisi tersebut tidak pada diksi yang puitik namun pada alur narasi yang dibangun oleh tokoh-tokoh dalam sajak. Tokoh-tokoh tersebut menimbulkan ironi. Peristiwa paskah yang tragis masih bisa kita tertawakan. Kata paskah menjadi ambigu ketika dikaitkan dengan kata pas. Itulah kekuatan ironi yang dikembangkan dalam puisi-puisi Joko Pinurbo.

VII

Perubahan wacana estetik merupakan kewajaran karena penyair pasti mengalami dinamika dalam pencapaian estetiknya sejalan dengan pengalaman hidupnya bersinggungan dengan dunia nyata, dunia yang penuh dinamika sosial.
Yang menjadi unik, biografi estetika Joko Pinurbo diberi nama Pacar Senja yang diambil dari puisi sentimentilnya.

...
Senja mengajak pacarnya duduk-duduk di pantai.
Pantai sudah sepi dan tak akan ada yang peduli.
...
Cinta seperti penyair berdarah dingin
yang pandai menorehkan luka.
Rindu seperti sajak sederhana yang tak ada matinya.
...


(“Pacar Senja”, Joko Pinurbo, dalam Pacar Senja hal. 45)

Pertunjukkan estetik Joko Pinurbo hingga 2004, seperti sebuah tragic comedy, berisi humor-humor yang tragis. Pacar Senja merupakan sebuah pertunjukkan estetik Joko Pinurbo yang terus bersinggungan dengan lingkungan sosialnya dari masa Orde Baru hingga pascaruntuhnya hegemoni Orde Baru. Pertunjukkan estetiknya seperti Pacar Senja yang sentimentil dan tak ada matinya.

Tanah aluvial


Tanah Alluvial pada proses pembentukannya sangat tergantung dari bahan induk asal tanah dan topografi, punya tingkat kesuburan yang bervariasi dari rendah sampai tinggi, tekstur dari sedang hingga kasar, serta kandungan bahan organic dari rendah sampai tinggi dan pH tanah berkisar masam, netral, sampai alkalin, kejenuhan basa dan kapasitas tukar kation juga bervariasi karena tergantung dari bahan induk (Hardjowigeno, 1985).
Alluvial atau Inceptisol memiliki pH yang sangat rendah  yaitu kurang dari 4, sehingga sulit untuk dibudidayakan. Alluvial atau Inceptisol yang bermasalah adalah sulfaquepts yang mengandung horizon sulfuric ( cat clay ) yang sangat masam (Munir, 1996).
Tanah Alluvial memperlihatkan awal perkembangan biasanya lembab atau basa selama 90 hari berturut-turut. Umumnya mempunyai lapisan kambik, karena tanah ini belum berkembang lanjut dan kebanyakan tanah ini cukup subur. Alluvial atau Inceptisol merupakan tanah-tanah yang memiliki epipedon dan okrik, horizon albik (Hardjowigeno, 1995).
Akumulasi besi sulfide dan oksidanya penting pada sejumlah besar tanah Alluvial. Bakteri memerlukan bahan organic dan merupakan obligat anaerob. Bakteri ini aktif mulai dari 0-700 C, pH hingga 5 sampai 9 dan konsentrasi NaCl 12% (Lopulisa, 2004).
Tanah endapan alluvial atau koluvial muda atau agak muda dengan tanapa atau perkembangan prifil lemah. Sifat tanah alufial sangat beragam tergantung sifat bahan asal yang diendapkan. Penyebarannya tidak terpengaruhi oleh iklim maupun ketingian (Hardjowigeno, 1993).
Tanah Aluvial yang dipersawahan akan berbeda sifat morfologisnya dengan tanah yang tidak dipersawahan. Perbedaan yang sangat nyata dapat dijumpai pada epipedonnya, dimana pada epipedon yang tidak pernah dipersawahan berstruktur granular dan warna coklat tua (10 YR 4/3). Sedangkan epipedon tanah Aluvial yang dipersawahan tidak berstruktur dan berwarna berubah menjadi kelabu (10 YR5/1) (Munir, 1984).
Hakim dkk (1986) mengemukakan bahwa tanah Aluvial bervariasi dari satu daerah ke daerah lainnya. Beberapa bahan endapan dapat berupa batu kapur, batuan metamorfik, deposit lanau dan dapat pula berupa au gunung berapi yang bercampur bahan organik.
Sarief (1987) menyatakan bahwa tanah Aluvial berwarna kelabu sampai kecoklat-coklatan. Tekstur tanahnya liat atau liat berpasir, mempunyai konsistensi keras waktu kering dan teguh pada waktu lembab. Kandungan unsur haranya relatif kaya dan banyak tergantung pada bahan induknya. Reaksi tanahnya dari asam, netral sampai basa. Berdsarkan bahan induknya terdapat ttanah Aluvial pasir, lempung, kapur, basa,asam dan lain-lain (Darmawijaya, 1990).
Tanah Aluvial yang di persawahan akan berbeda sifat morfologisnya dengan tanah yang tidak di persawahan. Perbedaan yang sangat nyata dapat dijumpai pada epipedonnya, dimana pada epipedon yang tidak pernah dipersawahan berstruktur granular dan warna coklat tua (10 YR 4/3). Sedangkan epipedon tanah Aluvial yang dipersawahan tidak berstruktur dan berwarna berubah menjadi kelabu (10 YR5/1) (Munir, 1984).
Tanah Alluvial memiliki kemantapan agregat tanah yang didalamnya terdapat banyak bahan organik sekitar setengah dari kapasitas tukar katio (KTK) berasal dari bahan bahan sumber hara tanaman. Disamping itu bahan organik adalah sumber energi dari sebagian besar organism tanah dalam memainkan peranannya bahn organik sangat dibutuhkan oleh sumber dan susunanya (Hakim,dkk,1986).
Tanah Alluvial mengalami pencucian selama bertahun-tahun tanah ini ditandai dengan kandungan bahan organik yang tinggi. Vegetasi kebanyakan lumut yang tumbuh rendah. Tumbuhan tumbuh dengan lambat, tetapi suatu lahan yang rendah menghambat dekomposisi bahan organik sehingga menghasilkan tanah yang mengandung bahan organik dan KTK yang tinggi (Foth,HD,1994).
Tanah Alluvial berwarna kelabu muda bersifat fisik keras dan pijal jika kering dan lekat jika basah. Kaya akan fosfot yang mudah larut dalam sitrat 2% mengandung 5% CO2 dan tepung kapur yang halus dan juga berstruktur pejal yang dalam keadaan kering dapat pecah menjadi fragmen berbetuk persegi sedang sifat kimiawinya sama dengan bahan asalnya (Munir, 1996).
Kadar fosfor Alluvial ditentukn oleh banyak atau sedikitnya cadangan mineral yang megandung fosfor dan tingkat pelapukannya. Permasalahan fosfor ini meliputi beberapa hal yaitu peredaran fosfor di dalam tanah, bentuk-bentuk fosfor tanah, dan ketersediaan fosfor (Pairunan, dkk, 1997).
Status kesuburan Alluvial amat tergantung dengan bahan induk  dan iklim. Suatu kecenderungan memperlihatkan bahwa di daerah beriklim basa P dan K relative rendah dan pH lebih rendah dari 6,5. daerah-daerah dengan curah hujan rendah di dapat kandungan P dan K lebih tinggi dan netral (Hakim, dkk, 1986).
Dalam analisis KTK, mula-mula semua kation yang dapat dipertukarkan diganti dengan kation tertentu misalnya dengan NH4+ (dari larutan NH4Oac), kemudian ditentukan jumlah kation yang diperlukan untuk mengganti kation tersebut.  Beberapa kation terutama K bila digunakan sebagai kation pengganti akan memberi gambaran yang kurang tepat karena sebagian dari K dapat diikat oleh mineral liat tertentu seperti mineral illit (Hardjowigeno, 1993).
Ada dua cara yang banyak dipakai untuk menentukan KTK yaitu penjenuhan dengan ammonium pada pH 7 (NH4Oac, pH 7) dan dan metode penjumlahan kation di mana semua kation yang dapat dipertukarkan yaitu kation basa + kation asam dijumlahkan.  Karena adanya perubahan KTK akibat perubahan pH, maka KTK tanah dapat dibedakan menjadi KTK tetap (permanent charge) dan KTK tergantung pH (pH-dependent charge) (Hardjowigeno, 1993).
KTK tetap adalah jumlah muatan negative dari liat akibat subtitusi ion-ion dengan muatan rendah terhadap ion-ion dalam struktur kristal yang bervalensi lebih tinggi.  Hal ini terjadi pada waktu proses pembentukan liat sedang berjalan.  Sebagai contoh misalnya subtitusi Al3+ terhadap Si4+ dalam Si tetrahedron atau subtitusi Mg2+ terdapat Al3+ dalam Al octahedron.  Akibat subtitusi tersebut maka terjadilah kelebihan muatan negative dalam mineral liat yang merupakan KTK tetap (Purwowidodo, 1982).

Biologi kelas X [chordata}


Chordata
Click on an image to view larger version & data in a new window
taxon linksInterpreting the tree
Tree based on summary in Nelson (1994) plus Yunnanozoon added as uncertain basal sister group to cephalochordates. Euconodonts are to be found within vertebrates, a subgroup of craniates.
Containing group: Deuterostomia
Introduction
The Phylum Chordata includes the well-known vertebrates (fishes, amphibians, reptiles, birds, mammals). The vertebrates and hagfishes together comprise the taxon Craniata. The remaining chordates are the tunicates (Urochordata), lancelets (Cephalochordata), and, possibly, some odd extinct groups. With few exceptions, chordates are active animals with bilaterally symmetric bodies that are longitudinally differentiated into head, trunk and tail. The most distinctive morphological features of chordates are the notochord, nerve cord, and visceral clefts and arches.
Chordates are well represented in marine, freshwater and terrestrial habitats from the Equator to the high northern and southern latitudes. The oldest fossil chordates are of Cambrian age. The earliest is Yunnanozoon lividum from the Early Cambrian, 525 Ma (= million years ago), of China. This was just recently described and placed with the cephalochordates (Chen et al., 1995). Another possible cephalochordate is Pikaia (Nelson, 1994) from the Middle Cambrian. These fossils are highly significant because they imply the contemporary existence of the tunicates and craniates in the Early Cambrian during the so-called Cambrian Explosion of animal life. Two other extinct Cambrian taxa, the calcichordates and conodonts, are uncertainly related to other Chordata (Nelson, 1994). In the Tree of Life project, conodonts are placed as a subgroup of vertebrates.
Chordates other than craniates include entirely aquatic forms. The strictly marine Urochordata or Tunicata are commonly known as tunicates, sea squirts, and salps. There are roughly 1,600 species of urochordates; most are small solitary animals but some are colonial, organisms. Nearly all are sessile as adults but they have free-swimming, active larval forms. Urochordates are unknown as fossils. Cephalochordata are also known as amphioxus and lancelets. The group contains only about 20 species of sand-burrowing marine creatures. The Cambrian fossils Yunnanozoon and Pikaia are likely related to modern cephalochordates.
During the Ordovician Period (510 - 439 Ma) jawless or agnathan fishes appeared and diversified. These are the earliest known members of Vertebrata, the chordate subgroup that is most familiar to us. Fossils representing most major lineages of fish-like vertebrates and the earliest tetrapods (Amphibia) were in existence before the end of the Devonian Period (363 Ma). Reptile-like tetrapods originated during the Carboniferous (363 - 290 Ma), mammals differentiated before the end of the Triassic (208 Ma) and birds before the end of the Jurassic (146 Ma).
The smallest chordates (e.g. some of the tunicates and gobioid fishes) are mature at a length of about 1 cm, whereas the largest animals that have ever existed are chordates: some sauropod dinosaurs reached more than 20 m and living blue whales grow to about 30 m.
Characteristics
The notochord is an elongate, rod-like, skeletal structure dorsal to the gut tube and ventral to the nerve cord. The notochord should not be confused with the backbone or vertebral column of most adult vertebrates. The notochord appears early in embryogeny and plays an important role in promoting or organizing the embryonic development of nearby structures. In most adult chordates the notochord disappears or becomes highly modified. In some non-vertebrate chordates and fishes the notochord persists as a laterally flexible but incompressible skeletal rod that prevents telescopic collapse of the body during swimming.
The nerve cord of chordates develops dorsally in the body as a hollow tube above the notochord. In most species it differentiates in embryogeny into the brain anteriorly and spinal cord that runs through the trunk and tail. Together the brain and spinal cord are the central nervous system to which peripheral sensory and motor nerves connect.
The visceral (also called pharyngeal or gill) clefts and arches are located in the pharyngeal part of the digestive tract behind the oral cavity and anterior to the esophagus. The visceral clefts appear as several pairs of pouches that push outward from the lateral walls of the pharynx eventually to reach the surface to form the clefts. Thus the clefts are continuous, slit-like passages connecting the pharynx to the exterior. The soft and skeletal tissues between adjacent clefts are the visceral arches. The embryonic fate of the clefts and slits varies greatly depending on the taxonomic subgroup. In many of the non-vertebrate chordates, such as tunicates and cephalochordates, the clefts and arches are elaborated as straining devices concerned with capture of small food particles from water. In typical fish-like vertebrates and juvenile amphibians the walls of the pharyngeal clefts develop into gills that are organs of gas exchange between the water and blood. In adult amphibians and the amniote tetrapods (= reptiles, birds and mammals) the anteriormost cleft transforms into the auditory (Eustachian) tube and middle ear chamber, whereas the other clefts disappear after making some important contributions to glands and lymphatic tissues in the throat region. The skeleton and muscles of the visceral arches are the source of a great diversity of adult structures in the vertebrates. For example, in humans (and other mammals) visceral arch derivatives include the jaw and facial muscles, the embryonic cartilaginous skeleton of the lower jaw, the alisphenoid bone in the side wall of the braincase, the three middle ear ossicles (malleus, incus and stapes), the skeleton and some musculature of the tongue, the skeleton and muscles of the larynx, and the cartilaginous tracheal rings.
Discussion of Phylogenetic Relationships
As noted below, the relationships of some of the presumed fossil chordates is based on scant evidence and there is debate about the position of especially the calcichordates and conodonts (see references cited below and Chen et al. 1995). There is strong morphological, especially embryological, evidence for monophyly of the Urochordata, Cephalochordata and Craniata, with the latter two being sister taxa. Schaeffer (1987) details several embyological synapomorphies, in addition to those noted here, that support these same relations among and monophyly of the three living chordate groups.
  1. Calcichordata. Jeffries (1986) provides descriptions and comparisons and argues for the placement of calcichordates near the Chordata. Other workers believe that calcichordates are closer to echinoderms. Reconstructions of these fossil organisms include visceral (pharyngeal or gill) slits that would suggest chordate affinities, but the mineralized skeleton was composed of calcite, like echinoderms, not bone as in many chordates.
  2. Urochordata. Evidence that tunicates are chordates comes clearly from the larval "tadpole" stage which shows pharyngeal slits and arches, dorsal hollow nerve cord, notochord and post-anal muscular (unsegmented) tail. Adults of most members are sessile filter feeders with an expanded pharynx and, like cephalochordates and larval lampreys, with an endostyle, a mucous food trap in the pharyngeal floor that is homologous with the thyroid gland of vertebrates.
  3. Cephalochordata. Among the living chordates there is little doubt that lancelets are most closely related to the Craniates based on synapomorphies such as segmented axial muscles and metameric organization of the visceral (pharyngeal) arches. Uniquely, the notochord of cephalochordates extends to the tip of the snout, the gonads are segmentally organized, adults have a high number (50+) gill arches, and there is a hood-like atrium covering the pharyngeal region. The Early Cambrian fossil Yunnanozoon possesses the extended notochord and segmental gonads, but lack the atrium and increased number of gill arches.
  4. Craniata. Because hagfishes (Myxini) lack all traces of vertebrae, i.e. a backbone, Janvier (1981) groups the Myxini with all other vertebrates in the higher taxon Craniata (referring to the presence of a head skeleton). The taxon Vertebrata is, therefore, in a strict sense, applied to those animals known or believed to possess at least a simple backbone of neural arches. Synapomorphies of the Craniata include: presence of a cartilaginous (and often bony) head skeleton; relatively large brain plus a unique set of sensory and motor cranial nerves; nephrons as the functional excretory unit; neural crest embryonic tissue.
The traditional taxa Agnatha (jawless fishes), Ostracodermi (fossil jawless fishes) and Cyclostomata (living lampreys and hagfishes) are non-monophyletic assemblages that are no longer recommended. Details of jawless fish relationships are introduced on the Craniata and Vertebrata pages.
Other Names for Chordata
  • chordates